
Seberang Kota Jambi atau Sekoja adalah bagian utara Kota jambi yang
dipisahkan oleh sungai Batanghari. Walaupun hanya berjarak beberapa
ratus meter dari pusat Kota, namun Sekoja jauh tertinggal dibandingkan
dengan bagian Kota Jambi yang lain. Tidak ada gedung tinggi, apalagi
mall, yang ada hanyalah rumah-rumah panggung khas Jambi.
Seberang Kota Jambi adalah wajah Kota Jambi sebenarnya, tempat warga
asli melayu jambi tinggal beserta adat istiadatnya, serta tempat
peninggalan benda bersejarah yang masih bertahan dan terjaga baik dari
gerusan zaman. Sekoja bersebelahan dengan pusat kota Jambi, namun untuk
menuju kesana harus melintasi sungai Batanghari dahulu. Anda dapat
menggunakan Getek (atau Ketek) ataupun perahu wisata tradisional Jambi
yaitu “Kajang Lako”.
Perjalanan dengan perahu dari Pusat Kota menuju Sekoja hanya membutuhkan
waktu 10-15 menit, dengan biaya 2000-5000 saja. Selain dapat ditempuh
dengan jalur air, bisa juga ditempuh dengan menggunakan jalur darat
namun memakan waktu yang lebih lama yaitu sekitar 20-40 menit. Kita
harus berkendara ke Barat dahulu untuk melintasi Jembatan Aurduri
(Batanghari I), baru kemudian memutar balik ke arah Sekoja. Kita juga
bisa melalui Jembatan batanghari II di sebelah timur, namun memakan
waktu yang cukup lama.
Begitu sampai di Sekoja, anda tidak akan merasa di dalam kota, namun
terasa berada di tengah perkampungan tradisional. Sekoja memang seperti
kampung di tengah Kota. Jika anda ingin melihat masyarakat Melayu Jambi
disinilah tempatnya, disini mereka masih menjaga tradisi secara turun
temurun. Mulai dari rumah yang mereka tempati yang sebagian besar masih
berupa rumah panggung khas Jambi. Arsitektur rumah tradisional di Sekoja
adalah perpaduan antara budaya Melayu, Tionghoa, dan Arab, karena
ketiga budaya inilah yang memang sejak awal membentuk kawasan Sekoja
menjadi seperti adanya sekarang.
Salah satu rumah tua yang sekarang menjadi benda cagar budaya adalah
Rumah Batu, rumah yang berada di Jl. KH Ibrahim RT 02 Kelurahan Olak
Kemang, Kecamatan Danau Teluk. Rumah ini merupakan peninggalan Sayyid
Idrus bin Hasan Al-Jufri, salah seorang penyiar agama Islam pertama yang
masuk Jambi.
Sayyid Idrus adalah sultan atau raja yang berkuasa di daerah itu pada
dekade akhir abad ke-19 dengan gelar Pangeran Wiro Kusumo. Beliau
merupakan seorang ulama keturunan Arab atau Yaman. Sayyid Idrus bin
Hasan Al Jufri wafat tahun 1902 dan dimakamkan di depan masjid
Ikhsaniyah yang didirikannya. Kini sekali dalam setahun keluarga besar
beliau menyelenggarakan peringatan wafatnya Habib Idrus bin Hasan Al
Jufri yang dipusatkan di masjid ini. peringatan tersebut di agendakan
sekali dalam setahun, oleh pihak keluarga dan masyarakat muslim Sekoja
(seberang kota Jambi) sebagai bentuk penghormatan atas jasa jasa beliau.
Peringatan tersebut setiap tahun turut juga dihadiri oleh tokoh agama,
alim ulama, cendikiawan, gubernur dan undangan lainnya.
Tanggal kelahiran Sayyid Idrus ini tidak diketahui, satu-satunya
informasi dari dokumen Belanda yang menyebutkan bahwa pada tahun 1879,
Sayyid Idrus berumur lebih dari 40 tahun. Bisa dikatakan bahwa beliau
dilahirkan di Jambi sebelum tahun 1839 dari seorang ayah asli Arab atau
Yaman. Masih berdasarkan dokumen Belanda, disebutkan bahwa Sayyid Idrus
wafat di tahun 1905 meskipun di makam beliau dicantumkan angka 1902
sebagai tahun kematiannya.
Sayyid Idrus merupakan salah satu keluarga Al-Jufri di Jambi yang
berasal dari golongan Sayyid (said). Keluarga Al-Jufri di Jambi turut
memainkan peran mereka dalam perpolitikan sejak tahun 1812. Keluarga
Al-Jufri yang datang ke Nusantara kemudian menikah dengan putri dari
kalangan bangsawan karena memang wanita Arab tidak turut serta
bermigrasi ke Nusantara.
Kelauarga Arab memainkan peran penting sebagai mediator antara penguasa
lokal dengan penguasa penjajahan Belanda. Selain itu juga menjadi juru
bicara antara keluarga Al-Jufri terhadap keraton Jambi dan Penguasa
penjajahan Belanda. Sayyid Idrus memegang peran unik tersebut direntang
waktu 1860 hingga wafatnya di tahun 1902 atau 1905. Sayyid Idrus menikah
dengan Putri Sultan Nazaruddin dan mendapatkan gelar Pangeran Wiro
Kusumo langsung dari Sultan.
Gelar Pangeran ini juga memberi kekuasaan kepada Sayyid Idrus untuk
menjadi “pepati dalam” di keraton Jambi yang mengambil peran Sultan pada
saat Sultan tidak ditempat. Menurut dokumen Belanda, pangeran Wiro
Kusumo memainkan peran yang sangat penting ini di tahun 1858-1881 ketika
Sultan Nazaruddin lebih banyak memilih mengasingkan diri ke tempat yang
jauh dari keraton untuk menjaga jarak dengan penguasa penjajah Belanda
di Jambi. Mungkin itu sebabnya beberapa penulis bahkan sempat menyebut
pangeran Wiro Kusumo sebagai Sultan Jambi. Bisa di maklumi, karena
Pangeran Wiro Kusomo memang memiliki pengaruh yang begitu besar di
keraton Jambi, selain sebagai menantu dari Sultan Nazaruddin beliau juga
merupakan besan dari Sultan Thaha Syaifuddin, Sultan Jambi Terahir yang
tak lain juga merupakan ipar-nya sendiri.
Banyak orang bilang, Rumah Batu dulunya adalah istana. Dari bangunan ini
sangat nampak sekali perpaduan dari Melayu, Cina dan Arab. Namun
sayangnya kondisi Rumah Batu ini sudah sangat memprihatinkan.
Dinding-dindingnya sudah ditumbuhi lumut, tumbuh-tumbuan pakis, dan
rerumputan. Papan pintu pun sudah terlihat lapuk dan berlubang.
Sementara, daun-daun kering berserakan di halaman. Rumah yang sebenarnya
megah dan cantik ini malah terkesan angker dan menyeramkan. Sebagian
besar yang datang kemari hanya untuk ber foto Pre-wedding saja.
Suasana Islam sangat kental sekali di Sekoja, terbukti dengan banyaknya
Masjid, Madrasah dan Pondok Pesantren. Disini terdapat Masjid tertua di
Kota Jambi yaitu Masjid Ikhsaniyyah atau yang lebih dikenal dengan nama
Masjid Batu. Masjid ini didirikan pada tahun 1880 oleh Sayyid Idrus.
Masjid Batu ini didirikan Sayyid Idrus untuk memenuhi fungsi tempat
ibadah bagi masyarakat seberang kota Jambi. Masyarakat kota Jambi waktu
itu yang sudah fanatik keislamannya memanfaatkannya sebagai tempat
ibadah dan kegiatan sosial lainnya. Bangunan masjid ini telah mengalami
perluasan oleh pemerintah Belanda semasa penjajahan dengan
mempertahankan ciri ciri khas utamanya demi menjaga nilai historis-nya.
Masjid ini berada di Jalan KH. Ibrahim, RT 05 Kelurahan Olak Kemang,
Kecamatan Danau Teluk Kota Jambi.
Bangunan dalam masjid dipenuhi dengan hiasan kaligrafi berbagai rupa.
Mimbar asli berdiri anggun di sisi kanan mihrab. Sementara beduk
peninggalan terdahulu berada di bagian belakang ruang salat. Ciri
mencolok dari masjid ini adalah banyaknya jendela. Jendela-jendela yang
dipasang berpasangan itu mengelilingi masjid. Hanya tembok mihrab yang
tak berjendela. Sekitar tahun 60-an, Masjid Ikhsaniyyah merupakan tempat
orang menyelesaikan sengketa. Jika ada orang berselisih perihal
kepemilikan tanah, tuduhan mencuri, dan lain sebagainya orang akan
membawa perkara itu ke masjid dan mengambil sumpah dengan disaksikan
para penduduk dan pemuka agama.
Hingga kini, masih ada kebisaaan dan adat istiadat yang dilakukan Sayyid
Idrus (Pangeran Wiro Kusumo) semasa hidup yang masih dilakukan
keturunan dan pengikutnya sampai sekarang. Salah satunya adalah
menyantap makan dalam tempeh (wadah besar) ramai-ramai. Tradisi seperti
itu memang merupakan salah satu tradisi para ulama yang berasal dari
Yaman yang kemudian berkembang di tanah air. Tadisi yang sama dapat juga
dijumpai di masjid masjid tua lainnya di tanah air seperti di Masjid
Sultan Palembang ataupun Masjid Al-Hawi di Condet, Jakarta.
Menurut Habib Salim, seorang pengurus masjid, masjid ini diyakini
memiliki keramat tersendiri karena jika ada yang berani bersumpah palsu
di dalamnya, maka dia akan mengalami bala atau hal lainnya. Karena
itulah, pada masa itu Masjid Batu amat masyhur dan tak ada seorang pun
yang berani mengambil risiko bersumpah palsu di dalamnya. Banyak
orang-orang yang berdusta yang awalnya berani bersumpah di dalamnya.
Namun, setelah sampai mereka tak berani dan mengakui perbuatannya. Jika
ada yang bersalah dan tak mengakui perbuatannya sampai diambil
sumpahnya, orang itu akan menggelepar tak sadarkan diri. Dan jika ia
sudah sadar biasanya orang yang bersalah itu akan mengakui perbuatannya.
Namun sayang, tradisi itu sudah hilang sama sekali. Tak ada lagi orang
yang menjadikan masjid itu sebagai sarana mempertemukan kebenaran dan
mencari keadilan. Tradisi sumpah itu mulai terlupakan, hanya kalangan
tua saja yang mengetahui kisah tersebut.
Pada tahun-tahun awal abad ke-20, perkembangan Islam di Jambi maju
pesat. Hal ini seiring dengan majunya pendidikan keislaman di Jambi yang
ditandai dengan berdirinya empat pesantren utama, yaitu Pesantren Nurul
Iman, Pesantren Saadad Daarain, Pesantren Jauharain, dan Pesantren
Nurul Islam. Keadaan ini membuat kesadaran keislaman penduduk semakin
mengkristal dan menjadikan kawasan seberang kota Jambi banyak didatangi
orang dari berbagai daerah untuk belajar.
Keadaan ini tentu saja berpengaruh bagi Masjid Batu. Makin lama jamaah
masjid itu semakin penuh hingga akhirnya tak lagi mampu menampung jamaah
yang terus membludak, terlebih pada Shalat Jumat. Maka tokoh-tokoh
masyarakat lalu menggelar musyawarah dan bermufakat untuk memperbaharui
masjid. Disepakati dana pembangunan masjid dikumpulkan dari sedekah dan
infaq masyarakat sampai akhirnya terkumpul dana yang cukup untuk memugar
masjid. Saat itu tahun menunjukkan angka 1935. Karena berada di bawah
kekuasaan kolonial Belanda, para tokoh masyarakat meminta izin kepada
Belanda, lalu masuklah permohonan pemugaran masjid ke pemerintah Belanda
yang ada di Jambi dengan menceritakan latar belakang dan sejarah
berdirinya masjid.
Tahulah Belanda bahwa Masjid Batu tersebut merupakan peninggalan Sayyid
Idrus yang merupakan salah seorang sultan Jambi yang bergelar Pangeran
Wiro Kusumo. Karena menganggap bahwa masjid tersebut bernilai sejarah
sebagai masjid sultan, tahun 1937 pihak kolonial mengambil alih
pembangunan masjid. Dana pun turun dari pihak kolonial dan pembangunan
sepenuhnya berada dalam pengendalian Belanda. Padahal awalnya para tokoh
masyarakat hanya perlu izin karena dana sudah tersedia. Jadilah dana
dari masyarakat itu tidak terpakai yang akhirnya digunakan untuk membuat
pagar mengelilingi masjid.
Selain itu banyak Madrasah -Pesantren Tua yang sudah berumur Puluhan
tahun. Salah satunya adalah Madrasah Nurul Iman yang sudah berdiri sejak
Tahun 1915. Lulusan madrasah ini banyak menjadi pejabat penting seperti
mantan Gubernur Jambi Abdurrahman Sayoeti, Gubernur Riau Rusli Zainal,
dan tokoh penting lainnya. Selain kental dengan nuansa Islami,
masyarakat Sekoja juga kental dengan berbagai tradisi dan budaya. Salah
satunya adalah Batik Khas Jambi. Sekoja adalah pusat produksi Batik
Jambi. Disini anda dapat melihat proses pembuatan batik bahkan dapat
terlibat langsung dalam proses pembuatannya.
Batik tulis jambi memiliki ciri khas yang unik dan eksotis. Baik dari
segi warna maupun motifnya. Sebagian besar pewarna batik jambi diambil
dari bahan-bahan alami, yaitu campuran dari aneka ragam kayu dan
tumbuh-tumbuhan yang ada di jambi, seperti getah kayu lambato dan buah
kayu bulian, daun pandan, kayu tinggi dan kayu sepang. Motif yang ada
diantaranya motif Durian Pecah, kaca piring, puncung rebung, angso duo
bersayap mahkota, Tampuk Manggis, Kapal Nyanggat, dan lain-lain.
Di Sekoja banyak sanggar batik, salah satu diantaranya adalah di Kreasi
Batik Asmah, Milik Azmiah di Jl. H Somad No 41, Olak Kemang, Danau Teluk
Jambi. Tepat di depan tempat penyeberangan Sekoja, terdapat Bangunan
khas jambi yang merupakan Balai Kerajinan Rakyat Selaras Pinang Masak.
Disini anda dapat melihat berbagai kerajinan khas Jambi terutama Batik.
Sebagian jalan di Sekoja langsung berhadapan dengan Sungai Batanghari
dan hanya dibatasi oleh Pohon Palem yang tersusun rapi di sepanjang
tepian sungai. Tepian sungai pun sudah dilapisi dengan tembok sehingga
anda dapat bersantai duduk ditepian sungai sambil menikmati pemandangan
Pusat Kota Jambi dari Seberang dan berbagai aktivitas masyarakatnya di
atas Sungai Batanghari.
dikutip dari http://kebudayaan.kemdikbud.go.id/bpnbtanjungpinang/